Thursday, January 19, 2012

Adversity Quotient (AQ)

Secara umum, kecerdasan dapat dipahami pada dua tingkat. Pertama, kecerdasan sebagai suatu kemampuan untuk memahami informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran. Kedua, kecerdasan sebagai sebuah kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah-masalah yang dihadapi oleh seseorang dapat segera dipecahkan (problem solved), dan dengan demikian pengetahuan pun menjadi bertambah (Fanani, 2005).

Berdasarkan dua pengertian di atas, dapat dipahami dengan mudah bahwa kecerdasan merupakan pemandu (guide) bagi individu untuk mencapai berbagai sasaran dalam hidup yang dijalaninya secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, orang yang lebih cerdas, akan mampu memilih strategi-strategi pencapaian sasaran yang jauh lebih baik daripada orang yang kurang cerdas. Artinya, orang cerdas sepantasnya lebih sukses dibanding orang yangkurang cerdas (Fanani, 2005).

Konsep tentang kecerdasan adversity atau adversity intelligence (AI) dibangun berdasarkan hasil studi empirik yang dilakukan oleh banyak ilmuwan serta lebih dari lima ratus kajian di seluruh dunia, dengan memanfaatkan tiga disiplin ilmu pengetahuan, yaitu psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi. Kecerdasan adversity memasukkan dua komponen penting dari setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan aplikasinya dalam dunia nyata. Konsep kecerdasan adversity pertama kali digagas oleh Paul G. Stoltz (Jaffar, 2003).

Menurut Stoltz (2005), pengertian kecerdasan adversity tertuang ke dalam tiga bentuk, yaitu: pertama, kecerdasan adversity sebagai suatu kerangka kerja konseptual yang baru yang digunakan untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, kecerdasan adversity sebagai suatu ukuran untuk mengetahui reaksi seseorang terhadap kesulitan yang dihadapinya. Ketiga, kecerdasan adversity sebagai seperangkat peralatan yang memiliki landasan ilmiah untuk merekonstruksi reaksi terhadap kesulitan hidup. Agar kesuksesan menjadi nyata, maka Stoltz (Kusuma, 2004) berpendapat bahwa kombinasi dari ketiga unsur tersebut yaitu pengetahuan baru, tolok ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar dalam meraih sukses.

Berbeda dengan Stoltz, Mortel (Kusuma, 2004) berpandangan bahwa makin besar harapan seseorang terhadap dirinya sendiri, maka makin kuat pula tekadnya untuk meraih kesuksesan dan keberhasilan dalam hidup. Maxwell (Kusuma, 2004) mengatakan bahwa ketekunan yang dimiliki oleh seseorang akan memberinya daya tahan. Daya tahan tersebut akan membuka kesempatan baginya untuk meraih kesuksesan dalam hidup.

Secara garis besar konsep kecerdasan adversity menawarkan beberapa manfaat yang dapat diperoleh, yaitu:

  1. kecerdasan adversity merupakan indikasi atau petunjuk tentang seberapa tabah seseorang dalam menghadapi sebuah kemalangan
  2. kecerdasan adversity memperkirakan tentang seberapa besar kapabilitas seseorang dalam menghadapi setiap kesulitan hidup dan ketidakmampuannya dalam menghadapi kesulitan
  3. kecerdasan adversity memperkirakan siapa yang dapat melampaui harapan, kinerja, serta potensinya, dan siapa yang tidak
  4. kecerdasan adversity dapat memperkirakan siapa yang putus asa dalam menghadapi kesulitan dan siapa yang akan bertahan (Stoltz, 2005).

Stoltz (2005) menambahkan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi, dipandang sebagai figur yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi, sedangkan individu yang mudah menyerah, pasrah begitu saja pada takdir, pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap negatif, dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat kecerdasan adversity yang rendah. Werner (Stoltz, 2005), dengan didasarkan pada hasil penelitiannya mengemukakan bahwa anak yang ulet adalah seorang perencana, orang yang mampu menyelesaikan masalahnya dan orang yang mampu memanfaatkan peluang. Orang yang mengubah kegagalannya menjadi batu loncatan mampu memandang kekeliruan atau pengalaman negatifnya sebagai bagian dari hidupnya, belajar darinya dan kemudian maju terus.

Menurut Maxwell (Kusuma, 2004) setidaknya ada tujuh kapasitas yang dibutuhkan untuk mengubah kegagalan menjadi batu loncatan, yaitu

  1. para peraih prestasi pantang menyerah dan tidak pernah jemu untuk terus mencoba karena tidak mendasarkan harga dirinya pada prestasi
  2. para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai sesuatu yang nisbi sifatnya
  3. para peraih prestasi memandang kegagalan-kegagalan sebagai insiden-insiden tersendiri
  4. para peraih prestasi memiliki ekspektasi yang realistis
  5. para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatannya
  6. para peraih prestasi menggunakan multi pendekatan dalam meraih prestasi
  7. para peraih prestasi mudah bangkit kembali.

Stoltz (2005) mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Ditambahkan juga bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan, kesedihan serta kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah sikap tahan banting dan keuletan .

Pannyavaro (2006) menyatakan bahwa kesulitan hidup jika dihadapi, disadari, akan menjadi sesuatu yang biasa saja. Karena sejatinya kesulitan merupakan sebuah perubahan, perubahan dari sesuatu yang menyenangkan, membahagiakan, menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, itu pulalah yang dinamakan sebagai penderitaan. Padahal jika dilihat, sebenarnya hal tersebut hanyalah sebuah proses perubahan semata.

Mortel (Kusuma, 2004) mengemukakan bahwa kegagalan adalah suatu proses yang perlu dihargai. Mortel juga berpendapat bahwa kegagalan hanyalah suatu pengalaman yang akan menghantar seseorang untuk mencoba berusaha lagi dengan pendekatan yang berbeda. Menurut Lasmono (Jaffar, 2003), untuk menciptakan perubahan dalam hidup seseorang harus bertekad untuk terus mendaki melawan rintangan. Untuk itu individu harus mampu mengembangkan kecerdasan adversity yang tinggi dan mengenali tiga tahap adversity yang disusun dengan model piramid mulai dari dasar sebagai berikut:

Societal Adversity: Ketidakjelasan tentang masa depan, kecemasan tentang keamanan ekonomi, meningkatnya kriminalitas, kerusakan lingkungan, bencana alam, serta krisis moral.

Workplace Adversity: Peningkatan ketajaman terhadap pekerjaan, pengangguran dan ketidakjelasan mengenai apa yang akan dihadapi.

Individual Adversity: Individu dapat memulai perubahan dan pengendalian.

Sumber : http://trinilgirl.blogspot.com

0 komentar:

Post a Comment

 
;